‎Napak Tilas Pemikiran Dakwah KH. Hilmi Aminuddin – Haul ke-5

Mukadimah – Tentang Ustadz Hilmi Aminuddin

‎Ia bukan sekadar seorang guru. Bukan pula hanya tokoh pendiri. Ustadz Hilmi Aminuddin adalah ruh perintis. Sosok yang berjalan sunyi tapi membangun raksasa. Dialah muassis—peletak dasar dakwah tarbiyah yang jernih arah, kuat akar, dan melintasi zaman.

‎Dalam dirinya terpatri semangat para nabi dan strategi para mujtahid. Ia hidup dalam gerak dan tafsir, menjahit antara makrifatullah, manhaj dakwah, dan sistematika tarbiah dalam satu tubuh dakwah yang kokoh. Ia berbicara tak sekadar mengutip, tapi menafsir; tak hanya menasehati, tapi menggerakkan.

‎Ustadz Hilmi mengajarkan bahwa dakwah bukan soal retorika atau publikasi. Tapi tentang kesabaran membina manusia, menyusun barisan, dan menanam akar-akar peradaban. Dalam pengajian-pengajiannya yang sederhana, kadang berpindah dari rumah ke rumah, ia menyemai pemikiran jangka panjang. Dalam forum mentoring kecil, ia menanamkan fikrah besar.

‎Ia memulai semuanya dari nol. Dari motor pinjaman, kontrakan sempit, dan buku-buku bertumpuk. Tapi dari sanalah ia lahirkan pemimpin. Dari sana ia ajarkan bahwa Islam harus dipahami secara utuh, menyeluruh (syumuliyah), seimbang (tawazun), dan kokoh akarnya (tsabat).

‎Satu hal yang membuat beliau berbeda dari tokoh biasa: beliau mendidik bukan hanya dengan ceramah, tapi dengan membentuk manusia. Menyambut para binaannya seperti ayah, meminjami uang saat perlu, mencarikan jodoh, bahkan tempat tinggal.

‎Ustadz Hilmi bukan hanya pengajar. Ia adalah murabbi ruhani—pembentuk jiwa. Ia bukan hanya pemimpin organisasi, tapi pemegang ruh dakwah yang dijaga ketat, agar tak menyimpang dari orbitnya.

‎Lima tahun sejak kepergian beliau, kita menyaksikan warisan luar biasa: kader-kader yang tersebar di seluruh negeri, pemikiran yang terus menyala, dan rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar padam. Ia telah pergi. Tapi yang ia bangun tetap tumbuh. Karena ia menanam bukan bangunan, tapi manusia.

‎_

‎🟩 2. Testimoni Dr. Al Muzzammil Yusuf

‎(Presiden PKS, anggota DPR RI, alumni VISIP UI angkatan 1984)

‎Pertemuan pertama itu sederhana—tahun 1984, di usia 19 tahun, di kampus Universitas Indonesia. Tapi dari momen kecil itulah Dr. Muzzammil Yusuf menemukan jalan hidupnya. Ia tidak hanya bertemu seorang ustadz, tapi guru kehidupan: Ustadz Hilmi Aminuddin.

‎Dalam forum daurah yang ia ikuti sebagai mahasiswa baru, beliau terpukau oleh gaya pengajaran Ustadz Hilmi. Materinya tidak sekadar teks, tapi hidup. Menyapa, bertanya, menertawakan celoteh, lalu menyambung dengan ayat demi ayat. Bahkan ia masih ingat bagaimana Ustadz Hilmi tertawa ketika ia berkata: “Ustadz, kemarin itu dari mulut singa ke mulut buaya”—menyambung perumpamaan dari pengajian sebelumnya.

‎Kekuatan utama Ustadz Hilmi, menurutnya, adalah pada penataan tauhid dan pemikiran. Beliau membentuk manusia melalui bangunan konseptual Islam yang utuh. Ada makrifatullah, makrifatur rasul, syumuliyatul Islam, hingga aspek tasawuf yang disampaikan dengan peta pemikiran yang sistematis. “Rasmul bayan” itu, kata Muzzammil, adalah alat visualisasi yang luar biasa bagi mahasiswa awam.

‎Satu hal yang mengesankan: tak ada bayaran, tak ada amplop. Tapi semua datang. Karena ruh dakwahnya membekas. Ustadz Hilmi datang naik motor, berpindah tempat, menyambut muridnya dengan kesederhanaan. Tapi pemikirannya tajam dan penuh strategi. Ia tidak hanya menyampaikan Islam yang emosional, tapi menyodorkan Islam yang berwawasan, berstruktur, dan membentuk peradaban.

‎Di tengah keterbatasan era Orde Baru, ketika ceramah besar dilarang, Ustadz Hilmi membentuk jaringan pengajian kecil. Tapi dari situlah lahir generasi yang berdaya. Dr. Muzzammil menegaskan: pengaruh Ustadz Hilmi bukan sekadar karena ilmunya, tapi karena kemampuan membentuk rasa ingin tahu, memperkenalkan istilah-istilah dakwah yang hidup, dan membuat mahasiswa merasa Islam itu luas, dalam, dan bernilai perjuangan.

‎Beliau menutup testimoni dengan satu refleksi: “Ustadz Hilmi mengajarkan saya bahwa dakwah bukan sekadar ajakan. Tapi gerakan. Dan gerakan itu harus dimulai dari akidah, ilmu, dan cinta pada umat.”

‎_

‎🟩 3. Testimoni Ust. Aunur Rafiq Saleh Tamhid

‎(Wakil Ketua Majelis Syura PKS, alumnus Timur Tengah)

‎Ustadz Aunur Rafiq pertama kali bertemu Ustadz Hilmi di pesantren mahasiswa ITB sekitar akhir 1980-an. Kala itu ia bertindak sebagai supervisor program, dan mengundang Ustadz Hilmi sebagai pembicara. Materi yang disampaikan: fikih dakwah. Tapi gaya penyampaiannya langsung menyentuh hati—bukan sekadar ilmu, tapi wawasan dakwah yang hidup dan sistemik.

‎Beliau mengamati satu hal menonjol: ketajaman Ustadz Hilmi dalam menyampaikan ayat-ayat dakwah secara kontekstual dan metodologis. Bahkan dalam mengkaji surah Al-Anfal, Ustadz Hilmi tidak sekadar mengulas tafsir, tapi membangun kerangka berpikir, mengajak dialog, dan menjembatani antara pemikiran salaf dan kebutuhan zaman.

‎Metodologi tadabbur Ustadz Hilmi sangat unik. Setiap ayat dibedah dengan menemukan “kata kunci”, lalu dirangkai menjadi pemahaman tematik dakwah. Contoh klasiknya adalah QS. Yusuf ayat “Qul hadzihi sabili…” yang diuraikan menjadi unsur-unsur dakwah: ilallah (orientasi), ala bashirah (makrifah dan keyakinan), ana wa man ittaba’ani (dai dan jaringan).

‎Salah satu keistimewaan Ustadz Hilmi, kata Ust. Aun, adalah kemampuan menyesuaikan pendekatan kepada lawan bicara. Jika yang dihadapinya para ustadz alumni luar negeri, beliau menyodorkan pemikiran dalam dan metodologi. Tapi bila binaannya pemula, beliau mulai dari makrifatullah. Pendekatannya selalu adaptif, tetapi prinsipil.

‎Ustadz Hilmi juga dikenal sangat dermawan. Ia mengundang muridnya ke rumah, menjamu makan, bahkan pernah memberikan pinjaman uang pribadi sebesar Rp500 ribu untuk Ustadz Aun yang hendak membeli tanah. Hal itu sangat membekas. “Beliau bukan hanya murabbi fikrah, tapi juga murabbi dalam amal nyata,” kenangnya.

‎Beliau juga mencatat bahwa Ustadz Hilmi mampu berinteraksi dengan semua lapisan: mahasiswa, tokoh politik, bahkan anggota militer. Gaya komunikasinya luwes, tapi bermakna. Semuanya menunjukkan bahwa beliau bukan hanya pendakwah, tapi arsitek dakwah yang menjangkau semua lini.

‎”Yang beliau wariskan bukan sekadar materi pengajian, tapi metode berpikir, metode memahami ayat, dan metode membina manusia. Dan itu tidak pernah mati.”

‎_

‎🟩 4. Testimoni Dr. Kurniasih Mufidayati

‎(Anggota DPR RI, mantan Ketua BPKK PKS)

‎Dengan nada rendah hati, Dr. Kurniasih Mufidayati mengawali kesaksiannya dengan kalimat: “Saya yang paling sedikit berinteraksi dengan beliau.” Tapi justru dari keterbatasan itulah muncul kesan yang dalam. Beliau tidak hanya menyaksikan seorang tokoh, tapi merasakan kehadiran seorang bapak dalam dakwah.

‎Pertemuan mereka terjadi sekitar 2012, ketika Mbak Fida—sapaan akrabnya—mendampingi Mbak Anis dalam mengelola bidang perempuan (BPKK). Dalam forum-forum strategis itu, Ustadz Hilmi menitipkan sebuah gagasan penting: Himayatul Usrah—konsep ketahanan keluarga sebagai benteng utama umat dari serangan ideologi destruktif.

‎Awalnya, istilah “ketahanan keluarga” terdengar biasa. Tapi setelah dijelaskan oleh beliau, terbuka cakrawala baru: ini bukan sekadar harmoni rumah tangga, tapi benteng peradaban menghadapi gelombang budaya bebas, seks bebas, incest, perceraian masif, hingga redefinisi institusi keluarga. Dan semua itu, menurut beliau, sudah bisa diprediksi sejak dulu—dan kini sedang terjadi.

‎Yang paling membekas adalah ketika beliau memfasilitasi langsung pelatihan TFT BPKK tiga hari tiga malam di Lembang. Semua peserta difasilitasi penuh, didampingi langsung oleh Ustadz Hilmi, dan diberi arahan agar gagasan ketahanan keluarga ini menjadi sistem kaderisasi. Tak banyak tokoh yang rela hadir penuh di tengah kader akhwat. Tapi Ustadz Hilmi berbeda—ia membina seperti ayah, mempercayakan amanah besar kepada para perempuan partai.


‎Ia tidak sekadar mendukung keterlibatan akhwat dalam politik, tapi selalu mengingatkan tentang tawazun—keseimbangan antara peran publik dan kodrat sebagai istri dan ibu. Islam, menurut beliau, memuliakan perempuan dengan koridor yang menjaga fitrah, bukan mengekang. “Karena justru etika dan batasan itulah yang meninggikan posisi perempuan,” kata Mbak Fida mengutip nasihat beliau.

‎Pesan terakhir yang paling membekas dari beliau adalah soal iqamatud dakwah—menegakkan dakwah, bukan hanya melaksanakan. Artinya, bukan hanya menyampaikan ceramah atau hadir di forum publik, tapi menghidupkan sistem, membangun fondasi, dan menggerakkan agenda peradaban—dari rumah, ke partai, lalu ke masyarakat.

‎”Saya mengenalnya sebentar. Tapi nasihat-nasihatnya tidak pernah pudar. Beliau bukan hanya ustadz. Beliau bapak kami. Dan sampai hari ini, kami memanggilnya: Bapak.”

‎_

‎🟩 5. Testimoni Dr. Mardani Ali Sera

‎(Anggota DPR RI, Ketua BKSAP, mantan Ketua Bidang Kepemudaan)

‎Dengan gaya penuh humor dan sentuhan personal, Dr. Mardani menyampaikan testimoni yang sangat khas. Ia menyebut dirinya bukan murid langsung, melainkan “cucu ideologis”—karena lebih banyak berinteraksi pasca Ustadz Hilmi tidak lagi menjabat sebagai Ketua Majelis Syuro.

‎Namun justru di masa itulah ia menyaksikan keteladanan yang autentik. Ia menggambarkan Ustadz Hilmi sebagai murabbi paripurna, yang menggabungkan empat peran dalam satu tubuh:

‎1. Kal Ustadz – Guru ilmu: Menyampaikan pemikiran dengan struktur, argumentasi, dan orisinalitas.
‎2. Kal Ummi – Ayah ruhani: Memperhatikan muridnya hingga ke urusan jodoh, kontrakan, pekerjaan.
‎3. Kal Syaikh – Pembimbing ruhani: Menjaga sisi ruhiyah dan ibadah dengan sangat detail.
‎4. Kal Qaid – Panglima: Memimpin dengan visi, keberanian, dan kesiapannya menghadapi realitas politik dan sosial.

‎Dr. Mardani bahkan mencontohkan momen ketika Ustadz Hilmi mengecek langsung ke masjid tempat ia salat subuh—bukan untuk mengawasi, tapi untuk memastikan binaan tetap dalam jalur ruhiyah. Ia juga menceritakan kisah menyentuh ketika putri bungsu Ustadz Hilmi datang kepadanya, menangis karena tak punya banyak kenangan tentang ayahnya. “Yang kami lihat hanya punggungnya—karena beliau lebih banyak bersama anak-anak ideologisnya.”

‎Ada pula pelajaran besar dari gaya berpikir beliau: setiap kebijakan harus memenuhi tujuh kriteria—konsolidatif, afirmatif, prestatif, orientatif, dan lainnya. Dr. Mardani menekankan: beliau tidak hanya membaca buku, tapi menghidupkan isi buku dalam realitas organisasi.

‎”Ustadz Hilmi itu bukan hanya pemimpin gerakan. Tapi pemilik ruh peradaban. Dalam satu orang, kita bisa belajar struktur fikrah, kedalaman ruhiyah, dan etika kepemimpinan sekaligus.”

‎_

‎🟩 6. Testimoni Dr. Abdul Kharis

‎(Wakil Ketua Komisi I DPR RI, penerbit dan “ajudan intelektual” Ustadz Hilmi)

‎Bagi Dr. Kharis, Ustadz Hilmi bukan hanya guru atau pembimbing. Ia adalah sosok yang perfeksionis dalam kebaikan. Dua hal utama menjadi kesan mendalam yang ia sampaikan:

‎1. Taujih-taujih yang selalu baru dan bernas
‎2. Kebiasaan membaca, menyiapkan, dan meramu ilmu dengan penuh ketelitian

‎Sebagai penerbit buku Islam (Intermedia), Dr. Kharis banyak “diteror intelektual” oleh beliau. Tiap kali akan ada acara besar, beliau selalu bertanya: “Buku ini sudah kamu terjemahkan? Sudah kamu baca?” Maka setiap akan mendampingi beliau, Dr. Kharis harus membaca ulang buku-buku tebal agar bisa menjawab jika ditanya.

‎Ia menjelaskan bahwa taujih Ustadz Hilmi tidak pernah asal-asalan. Beliau meramu materi dari kitab klasik seperti Majmu’ah Rasail, buku strategi dakwah, hingga dokumen kontemporer. Tapi yang membuatnya istimewa adalah: beliau mampu menarik hikmah dari teks dan mengaitkannya dengan realitas dakwah saat itu.

‎Beliau juga dikenal sangat detail terhadap pengamanan, perencanaan acara, hingga alternatif skenario plan A dan B. Dalam satu acara nasional di Jogja, misalnya, beliau meminta simulasi pengamanan hingga dua kali—hanya untuk memastikan bahwa segala kemungkinan bisa diantisipasi. Sebuah kepemimpinan yang strategis sekaligus operasional.

‎”Ustadz Hilmi mengajarkan bahwa taujih bukan ceramah biasa. Tapi perpaduan antara pembacaan realitas, pemikiran kitab, dan jiwa dakwah yang menyala.”

‎_

‎🟩 7. Testimoni Ustadz Tifatul Sembiring

‎(Mantan Menkominfo RI, mantan Presiden PKS, murid sejak STM)

‎Tidak banyak yang tahu bahwa salah satu murid tertua dan paling lama membersamai Ustadz Hilmi adalah Ustadz Tifatul Sembiring. Ia bertemu sang guru saat masih kelas 2 STM—usia 18 tahun—jauh sebelum PKS berdiri, bahkan sebelum istilah tarbiyah dikenal luas. “Saya enggak bisa bahasa Arab, enggak bisa nulis, tapi beliau tetap sabar mendidik saya,” kenangnya.

‎Ustadz Hilmi menjadi guru pertama yang memperkenalkan makna tarbiyah secara sistematis—dari mulai tafsir Al-Fatihah, tauhid, sampai makrifatullah, semua dibawakan dalam bentuk rasmul bayan yang ringan dan mudah dicerna oleh remaja STM. Ia bahkan masih ingat bagaimana setiap pengajian disusun dari satu kata kunci dalam ayat, lalu dirangkai menjadi peta pemikiran. “Itu bukan sekadar ngaji. Itu membangun fondasi hidup.”

‎Lebih dari sekadar guru, Ustadz Hilmi menjadi ayah ideologis. Ia tidak hanya menyampaikan ilmu, tapi juga mendidik dengan penuh perhatian. Dari penampilan hingga isi hati muridnya diperhatikan. “Saya pernah dinasehati: Tif, jadi dai itu harus good looking. Lihat penampilanmu, rapikan. Jangan bikin dakwah jadi menyeramkan.” Bagi beliau, bahkan jenggot dan aroma tubuh adalah bagian dari amar ma’ruf.

‎Beliau juga sosok yang penuh analogi dan kekuatan cerita. Ustadz Tifatul mengenang bagaimana Ustadz Hilmi mengisahkan peristiwa Sa’ad bin Abi Waqqash menyeberangi Sungai Tigris, atau kisah Musa di Laut Merah, untuk menanamkan keyakinan dan keberanian. “Ustadz tidak hanya memberi ilmu, tapi juga membakar semangat kita,” katanya.

‎Satu pelajaran besar yang tak pernah ia lupakan adalah prinsip iqamatud dakwah—bahwa dakwah itu bukan sekadar menyampaikan, tapi menegakkan. “Beliau selalu bilang, dakwah bukan tentang ceramah, tapi tentang membangun manusia, membentuk sistem, dan memperjuangkan nilai di level negara,” jelasnya.

‎Dalam pengalaman sebagai menteri, presiden partai, dan aktivis dakwah, Ustadz Tifatul mengakui bahwa semua prinsip dasar yang ia pegang hari ini berasal dari fondasi yang ditanamkan oleh Ustadz Hilmi. Bahkan sikapnya saat menjadi Menkominfo menutup situs pornografi, katanya, adalah refleksi langsung dari pemikiran dakwah yang visioner dan menjaga umat.

‎Ia juga mengutip pesan Ustadz Hilmi tentang fenomena inkhiraf, tasakun, dan khiyanah—penyimpangan, kelumpuhan, dan pengkhianatan dakwah. Menurutnya, Ustadz Hilmi sudah jauh-jauh hari memberi sinyal bahwa kader dakwah harus menjaga kemurnian komitmen agar tidak dipotong dari rantai perjuangan. “Beliau selalu ingatkan: jangan jadi mata rantai yang putus,” kata Tifatul, mengutip pesan legendaris.

‎Yang paling menyentuh, barangkali, adalah saat beliau menggambarkan Ustadz Hilmi sebagai pembimbing ruhani: “Kalau beliau imam qiyamul lail, kami menangis. Rasanya seperti di depan Ka’bah.” Bahkan dalam tasyahud, katanya, ia selalu merasa didoakan oleh 1,5 miliar umat Islam, karena nasihat Ustadz Hilmi soal makna ‘ibadillahish-shalihin.

‎Di akhir, Ustadz Tifatul menekankan bahwa seluruh nilai-nilai dakwah itu masih relevan. Tapi ia menyayangkan bahwa generasi pasca-1998 mulai mengalami deviasi orientasi—terlalu politis, kurang ruhiyah, kurang ruh perjuangan. Maka ia mengusulkan agar seluruh pemikiran Ustadz Hilmi dikodifikasikan ulang dalam kurikulum pembinaan, agar tetap menggigit dan menyala.

‎”Kami ini hanya murid, hanya penerus. Tapi warisan beliau harus terus disambung. Jangan pernah putus. Karena yang beliau bangun bukan organisasi, tapi umat. Bukan struktur, tapi jiwa.”

‎_

‎🟩 8. Sesi Tanya-Jawab

‎Sesi diskusi terakhir malam itu menghadirkan dua pertanyaan penting:

‎Pertanyaan 1:

‎Bagaimana cara mewariskan pemikiran Ustadz Hilmi kepada generasi belasan dan 20-an tahun?

‎Dr. Abdul Kharis menjawab lugas: *Bacalah transkrip taujih beliau.* Karena dari sanalah bisa dipelajari bagaimana beliau membangun kerangka dakwah. Bukan hanya isi ceramahnya, tapi gaya berpikirnya—bagaimana menyusun kerangka, mengkontekstualkan ayat, dan menjawab tantangan zaman.

‎Ia menekankan pentingnya membumikan taujih dalam format yang bisa dijangkau generasi muda: buku, video pendek, infografis, dan training ringan. “Jangan hanya narasi nostalgia. Jadikan pemikiran beliau sistem kaderisasi,” pesannya.

‎Pertanyaan 2:

‎Bagaimana menjaga orisinalitas manhaj dakwah di tengah perubahan zaman?

‎Ust. Tifatul Sembiring menjawab dengan membandingkan asalah (orisinalitas) dan tatwir (pengembangan). Menurutnya, fikrah inti seperti makrifatullah, makrifatur rasul, tajarud, amal jama’i, dan ketahanan keluarga tetap relevan. Tapi metode penyampaiannya bisa berubah.

‎Beliau mendorong agar seluruh materi pokok—seperti 32 siasat dakwah, rasmul bayan, dan roadmap dakwah Islamiyah—disusun ulang dalam format baru, tapi tanpa mengubah ruh. Bahkan ia mengusulkan penyusunan buku besar warisan taujih Ustadz Hilmi yang bisa digunakan lintas generasi.

‎Ia juga mengingatkan bahwa generasi sekarang membutuhkan pendekatan yang menggigit dan menyentuh hati, bukan sekadar hafalan materi atau doktrin verbal. “Kita butuh ruh,” katanya.***